Sumber: Kompas |
Dalam sejarah perubahan sosial di berbagai negara, peran yang dimainkan oleh kaum muda memang tak dapat kita abaikan. Di Indonesia sendiri misalnya, kita bisa melihat peran kepeloporan kaum muda dalam sepanjang sejarah kemerdekaannya. Sebelum kemerdekaan, banyak kaum muda terpelajar yang mempelopori gerakan perlawanan terhadap kolonialisme. Semaun, Tan Malaka, Wikana, Kartini, dan banyak lagi pemuda lainnya, merupakan contoh kecil pemuda-pemuda pelopor itu, yang rela meninggalkan gelar kebangsawanannya dan terjun untuk menyatakan sikap antinya terhadap kolonialisme. Tak hanya itu, kaum muda juga menjadi pelopor dalam mendorong kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, melalui penculikan yang mereka lakukan terhadap kelompok kompromis di Rengasdengklok.
Meskipun demikian, kepeloporan kaum muda juga tak luput dari dosa besar pengkhianatan mereka. Keterlibatan mereka dalam pembantaian '65 merupakan bukti bahwa meskipun kaum muda seringkali menjadi pelopor, namun kepeloporan mereka tidaklah selalu bergerak maju. Pengkhianatan mereka terhadap reformasi '98 juga menunjukkan bukti bahwa tak sedikit pemuda-mahasiswa (yang notabene adalah borjuis kecil) yang akhirnya menjadi oportunis dalam menjalankan ‘kepeloporannyaʼ.
Lantas, bagaimanakah seharusnya kita menyikapi posisi yang dimainkan oleh pemuda ini?
Periode krisis ekonomi dan meningkatnya militansi massa rakyat (khususnya proletariat dan pemuda-mahasiswa) saat ini telah memaksa kita untuk memiliki kejelasan mutlak tentang hubungan kaum muda dengan gerakan revolusioner. Semakin maraknya aksi-aksi demonstrasi oleh kaum muda memicu persoalan tentang posisi mereka dalam gerakan kita menjadi sangat penting. Tak diragukan lagi, persoalan ini telah memunculkan beragam warna dan corak-rupa jawaban, tak terkecuali dari kalangan yang mengaku kiri. Di tengah kondisi yang carut-marut tersebut, merupakan tugas mutlak bagi kami untuk membuat pernyataan publik tentang pandangan kami atas persoalan ini.
KAUM MUDA YANG MANA?
Sebelum kita berbicara panjang lebar terkait persoalan ini, perlu kita terangkan dahulu bahwa pada kenyataannya tidak semua pemuda adalah sama. Pemuda itu sendiri bukanlah kelas atau kelompok yang homogen. Mereka memiliki latar belakang suku, agama, ras, serta khususnya kelas yang berbeda, dan oleh karena itu, memiliki posisi dan peran yang berbeda pula. Sebagian dari mereka ada yang menjadi buruh muda, petani, pengangguran, calon teknokrat dan administrator borjuis kecil masa depan, anggota kelas penguasa, intelektual publik borjuis, dll. Perbedaan kelas inilah yang membuat peran pemuda menjadi tidak seragam (ada yang menjadi pelopor revolusioner, konservatif dan bahkan reaksioner, serta ada pula yang menjadi pengekor semata).[1] Oleh sebab itu, apabila kita memang betul-betul hendak menyikapi posisi serta peran pemuda secara konkret dan tepat, yang pertama-tama perlu kita lakukan adalah membedakan pemuda-pemuda ini ke dalam komponen sosialnya, yang tak lain adalah kelasnya.Apa sebabnya kita perlu membagi kaum muda menurut kelasnya, dan bukan menurut agamanya, rasnya, dll? Pembagian kaum muda menurut kelas ini penting, sebab ia berkaitan langsung dengan basis dari penghidupan masyarakat, yaitu persoalan produksi. Tanpa adanya produksi kebutuhan manusia, masyarakat tak akan mungkin bisa eksis. Bila tak ada produksi, tak akan ada makanan, tak akan ada pakaian untuk dikenakan, dll. Karena langsung berhubungan dengan dasar dari kehidupan masyarakat, perbedaan di lapangan produksi ini tentu juga akan menentukan perbedaan pandangan atas lapangan-lapangan sosial lainnya, seperti agama, budaya, pandangan hidup, dll. Pendek kata, perbedaan di lapangan basis menentukan perbedaan pandangan atas lapangan suprastruktur sosialnya. Hal ini juga berlaku di antara kaum muda.
Karena tak semua pemuda memiliki basis kelas yang sama, maka tentu mereka juga akan memainkan posisi dan peran yang tak sama pula. Apa yang diocehkan oleh kawan-kawan ‘kiriʼ kita, yang menganggap bahwa kaum muda (entah dengan cara bagaimana) merupakan kelompok sosial yang revolusioner secara inheren jelas telah meninggalkan analisis kelas. Dengan meromantisasi peran revolusioner sebagian kaum muda kepada seluruh kaum muda secara membabi buta, mereka sejatinya telah mengganti analisis kelas mereka menjadi suatu ‘teoriʼ oportunistik yang menjijikkan. Secara tak langsung, mereka telah menundukkan garis politiknya ke dalam persatuan dengan borjuis ‘progresifʼ, alih-alih mengutamakan kemandirian politik dari kelas proletariat.
Contoh mencolok dari golongan kiri ini dapat kita tengok dalam salah satu tulisan Arah Juang yang berjudul “May Day: Arti Penting Persekutuan Kaum Muda dan Rakyat Pekerja,” Lingkar Studi Kerakyatan mengutip salah satu kalimat yang cukup absurd dan menggelikan.[2] Kutipan dari Camila Vallejo, seorang aktivis revolusioner asal Chile ini berbunyi: “Kaum Muda jika tidak revolusioner adalah cacat mental.” Apa sebabnya kaum muda yang tak revolusioner adalah cacat mental? Apakah seluruh kaum muda pada hakekatnya adalah revolusioner? Sehingga jika mereka tak revolusioner, mereka telah melenceng dari hakikatnya dan menjadi cacat mental? Tentu, pertanyaan-pertanyaan ini perlu diajukan. Dengan kalimat ini, seolah-olah Lingkar Studi Kerakyatan hendak mengatakan bahwa seluruh kaum pada dasarnya adalah revolusioner, sehingga ketidak-revolusioneran kaum muda boleh dianggap sebagai cacat mental. Benarkah demikian? Bila kita bertumpu kepada analisis kelas, tentu pandangan ini adalah pandangan yang konyol. Pada kenyataannya, tidak semua pemuda memiliki latar kelas yang sama, sehingga wajar saja bila ada beberapa di antara mereka yang tidak revolusioner.
Tentu, bukan berarti kita akan membiarkan mereka, para pemuda yang memusuhi kita itu untuk melawan kita, untuk menyebarkan kesesatan bahwa masyarakat sekarang ini adalah masyarakat yang ideal dan final, dll. Tidak! Kita tetap harus melawan mereka, namun dengan senjata kita sendiri, dengan teori kita sendiri, dan bukan dengan meminjam teori-teori lain di luar pandangan kelas proletariat. Apa yang dilakukan Lingkar Studi Kerakyatan merupakan suatu kesalahan, sebab mereka memungut teori non-proletariat untuk mengkritisi golongan pemuda yang tidak revolusioner.
Memang betul bahwa semua kaum muda pada dasarnya mengalami masalah yang sama karena sistem kapitalis yang menindas. Namun, meskipun mereka mengalami masalah yang sama, pengaruh dari masalah ini memiliki tingkatan yang berbeda sesuai dengan kelas-kelas mereka.[3] Masalah pengangguran misalnya, mungkin tak akan terlampau membuat pemuda borjuis menjadi pusing, sebab mereka relatif memiliki kemampuan untuk mengenyam pendidikan tinggi di kampus, sehingga akan meningkatkan peluang mereka guna mendapatkan pekerjaan dengan kondisi dan upah yang layak. Sebaliknya, bagi pemuda kelas pekerja, masalah pengangguran telah menjadi masalah yang genting, ia menjadi persoalan hidup dan mati. Tak banyak pemuda kelas pekerja yang mampu mencapai tingkat pendidikan yang tinggi, karena upah keluarga mereka pada dasarnya tak lebih dari sekedar hidup ala kadarnya. Kondisi pemuda kelas pekerja yang menyedihkan itu tentu akan menyulitkan mereka guna mencari pekerjaan dengan kondisi dan upah yang layak.
Karena pengaruh dari masalah yang sama ini memiliki tingkatan yang berbeda sesuai dengan kelas-kelas mereka, kaum muda pun sebagai akibatnya juga memiliki pandangan subjektif yang berbeda atas masalah-masalah sama yang mereka hadapi. Ini tak aneh, sebab tidak semua kaum muda memiliki titik tolak pandangan yang sama. Ia dibedakan oleh sudut pandang kelas yang berbeda.
Para pemuda borjuis (kecil) umumnya melihat bahwa masalah yang mereka alami adalah masalah salah urus belaka. Masalah pengangguran, krisis iklim, mahalnya biaya pendidikan, dll, seringkali tidak dilihat sebagai suatu hal yang memang menjadi logika dasar hukum kapitalis, melainkan karena kesalahan individu-individu penguasa semata. Solusi yang mereka tawarkan pun tak jauh dari pandangan dasar mereka, yaitu sekedar mengganti individu penguasa yang ada, meskipun pengganti dari individu itu masih berada dalam lingkaran kelas penindas yang sama.
Sebaliknya, kaum muda yang melandaskan dirinya kepada titik tolak pandangan kelas proletariat pada dasarnya tidak melihat permasalahan ini sebagai persoalan individu penguasa semata, melainkan sebagai persoalan yang memang mengakar ke dalam sistem masyarakat yang ada. Apabila kita mampu menggantikan individu penguasa lama dengan individu penguasa baru yang sucinya bagaikan malaikat sekalipun, hal tersebut tak akan banyak memberikan pengaruh. Sebab, individu penguasa baru itu pada akhirnya akan terjerat dengan ribuan rantai penghambat yang akan membatasi kekuasaannya. Rantai tersebut tak lain dan tak bukan adalah negara beserta seluruh alat represifnya (polisi, tentara, jaksa, dll).
Meskipun individu penguasa baru tersebut adalah buruh yang senantiasa berpihak kepada kelasnya, ia tak akan bisa berbuat banyak selama kekuasaan negara masih berada di tangan kelas yang sama. Artinya, selama rantai negara borjuis itu belum diganti, selama seluruh lembaga dan alat represifnya masih sama, maka akan mustahil bagi kelas buruh untuk merealisasikan kepentingannya guna menghapuskan penghisapan melalui kepemilikan kolektif atas alat produksi. Bisa tidaknya kelas pekerja untuk merealisasikan kepentingannya akan sangat bergantung kepada siapa yang menguasai negara tersebut secara objektif. Kegagalan Salvador Allende di Chile merupakan bukti kebenaran dari pandangan kelas proletariat ini.
Apa sebabnya pemuda dengan latar kelas yang berbeda itu memiliki pandangan yang berbeda pula? Ini disebabkan karena hubungan mereka dalam roda produksi. Seorang pemuda kelas pekerja, karena mereka tak terikat oleh kepemilikan apapun atas alat produksi, tidaklah memiliki kepentingan untuk mempertahankan tatanan yang ada. Sebaliknya, mereka justru malah dihisap habis-habisan oleh sistem ini, sehingga mereka sangat berkepentingan untuk merobohkan tatanan yang ada. Pergantian bos tak akan banyak memberikan pengaruh, sebab realita yang mereka temui pada akhirnya akan tetap sama, yaitu penghisapan.
Berbeda dari pemuda kelas pekerja, kaum muda borjuis umumnya tak terlampau dirugikan oleh sistem yang menindas ini. Meskipun mungkin beberapa dari mereka ada yang tak terikat secara langsung oleh kepemilikan swasta atas alat produksi (seperti pemuda-mahasiswa misalnya), namun karena posisinya, mereka tidaklah diwajibkan untuk terlibat dalam kerja produksi. Sebaliknya, mereka malah menerima remah-remah hasil penghisapan yang ada, entah melalui beasiswa ataupun melalui suntikan dana keluarga. Posisi mereka yang tidak terlibat dalam kerja produksi dan penerimaan mereka atas remah-remah nilai lebih yang ada mengakibatkan pandangan mereka berbeda dari pemuda kelas pekerja.
Dengan meninjau perkara-perkara di atas, dapatlah kita menarik beberapa poin sebagai berikut:
1. Tidak semua kaum muda itu sama. Kaum muda pada dasarnya terbagi ke dalam berbagai kelompok; seperti agama, suku, ras, kebangsaan, jenis kelamin, orientasi seksual, kelas, dll. Perbedaan-perbedaan ini menyebabkan kaum muda tidak bisa menjadi kelompok yang homogen, melainkan akan selalu menjadi kelompok yang heterogen.
2. Karena bersifat heterogen, kaum muda sebagai akibatnya juga tidak memiliki posisi, peran, aspirasi dan ideologi yang sama. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh banyak hal, di antaranya yang paling penting adalah kelas sosialnya.
3. Oleh karena itu, kaum muda sebagai suatu kelompok tidaklah revolusioner secara inheren. Memang betul bahwa ada sebagian pemuda yang revolusioner (Marx, Engels, Lenin dan Trotsky pun mulai menjadi revolusioner ketika mereka masih muda). Akan tetapi, kerevolusioneran mereka tidaklah disebabkan oleh usia mereka yang masih muda, melainkan oleh keputusan politik yang mereka ambil dalam pertentangan kelas: kepada kelas mana ia berpihak dan dengan cara yang bagaimana? Hanya dengan menjawab pertanyaan inilah kita bisa menentukan apakah kaum muda itu revolusioner ataupun tidak.
KE MANA ARAH PERGERAKAN MAHASISWA?
Nah, karena produksi adalah kunci dan pembagian kelas di lapangan produksi sangat menentukan perbedaan-perbedaan di lapangan sosial lainnya, lantas di kelas manakah mahasiswa berada? Persoalan inilah yang akan kita bahas di bagian ini.Mahasiswa, seperti pemuda pada umumnya, memiliki latar belakang yang berbeda, termasuk dalam hal kelas. Meskipun demikian, secara umum kita dapat mengkategorikan mahasiswa sebagai borjuis kecil. Apa sebabnya? Yang pertama, karena mereka tidak terlibat dalam proses produksi. Memang ada beberapa mahasiswa yang juga bekerja, tapi kebanyakan dari mereka tidaklah bekerja. Tak hanya itu, kerja-kerja yang mahasiswa lakukan juga tak lantas membuat mahasiswa menjadi kelas pekerja secara penuh, karena beberapa dari mereka hanya bekerja untuk mendapatkan pemasukan tambahan. Dalam hal penghidupan mereka masih bergantung kepada keuangan keluarga. Mahasiswa yang bekerja hanya untuk sampingan belaka lebih cocok bila kita kategorikan sebagai semi-proletar. Yang kedua, selain karena umumnya mahasiswa hidup dari remah-remah orang tuanya, mahasiswa juga mampu mengenyam pendidikan tinggi yang relatif mahal. Akses kepada pendidikan tinggi ini terbatas, dan umumnya, hanya orang-orang yang mampu secara ekonomi sajalah yang bisa mencapainya.
Bagaimana pun juga, sistem pendidikan tinggi merupakan tempat pelatihan utama bagi para teknokrat dan administrator negara kapitalis, lembaga budaya dan sains borjuis, dan birokrasi perusahaan di masa depan.[4] Posisi mahasiswa yang semacam ini mengakibatkan banyak di antara mereka yang menyerap pandangan-pandangan borjuis secara sistematis. Penyerapan ideologi borjuis ini dapat kita lihat melalui adaptasi politik yang mereka lakukan, di mana meskipun mahasiswa seringkali menyuarakan keresahan rakyat tertindas, namun seringkali pula suara yang mereka sampaikan sangatlah terbatas kepada struktur kekuasaan borjuis yang ada. Ketiadaan hubungan aktif di dalam produksi dan kuatnya tekanan ideologi borjuis di kampus telah memperkuat kecenderungan mahasiswa menjadi borjuis kecil.
Jadi, dengan menengok hal ini, kita bisa mengatakan bahwa secara umum, mayoritas mahasiswa Indonesia tidak terlibat dalam kerja produksi, tidak menguasai alat produksi, namun menikmati sebagian kecil hasil produksi, serta memiliki keterampilan yang berpotensi mempermudah mobilisasi sosial ke atas. Memang betul bahwa ada beberapa mahasiswa yang tak berada dalam posisi tersebut, seperti mereka yang bekerja paruh waktu (semi-proletar) maupun penuh waktu (proletariat). Namun, ini tak menutup fakta bahwa sebagian besar mahasiswa tidak berada dalam posisi yang sama, mereka umumnya tidak terlibat dalam kerja produksi. Oleh karenanya, kita bisa berkata bahwa mayoritas mahasiswa berada di dalam kelas borjuis kecil.
Mahasiswa seringkali dipuja-puja sebagai agent of change (agen perubahan). Pemujaan ini tentu bukan tanpa sebab. Kenyataannya, mahasiswa memang sering menjadi pemantik bagi pergerakan massa rakyat secara besar. Kaum muda (dalam hal ini adalah mahasiswa) adalah lapisan yang paling sensitif atas ketegangan-ketegangan sosial yang berlangsung di dalam masyarakat borjuis. Mahasiswa seringkali mampu mewakili barometer yang sangat sensitif yang secara aktif merefleksikan semangat yang bergerak dalam masyarakat. Ini dibuktikan dalam beberapa peristiwa besar di dunia; seperti gerakan 4 Mei 1919 oleh mahasiswa di Tiongkok yang memicu pergolakan besar di sana dan berakhir dengan Revolusi Tiongkok 1949, pemogokan pekerja di Prancis di tahun 1968 yang dipantik oleh aksi demonstrasi mahasiswa, serta reformasi '98 yang juga dipelopori oleh mahasiswa.
Meskipun mahasiswa adalah barometer aktif dari ketegangan sosial yang berkembang di dalam masyarakat, kemampuan mahasiswa untuk memainkan peran sosial yang mandiri dan signifikan tidak akan mungkin mereka dapatkan. Ini disebabkan karena mahasiswa sangat mencerminkan aspirasi kelas dan gagasan borjuis kecil.
Adaptasi politik borjuis oleh mahasiswa dapat kita tengok secara gamblang melalui pergerakan mereka akhir-akhir ini. Watak borjuis tercermin dari pendekatan dan strategi politik gerakan mahasiswa yang cenderung elitis dan reformis. Alih-alih menghendaki perubahan secara radikal dari tatanan ekonomi politik dan struktur kekuasaan, para mahasiswa hanya mau mendorong reformasi institusi serta membuat suatu desain kebijakan yang dianggap dapat menopang penguatan “demokrasi”. Para mahasiswa umumnya menganggap bahwa tatanan kapitalisme yang ada ini sudah baik, yang dibutuhkan hanyalah mengkritisi kebijakan-kebijakan yang ada, ataupun melakukan perbaikan-perbaikan terhadap tatanan kapitalisme yang ada (politik tambal sulam).[5] Hal ini tak aneh, sebab seperti yang sudah kita lihat sebelumnya, kampus adalah tempat pelatihan utama bagi para teknokrat dan administrator negara kapitalis, lembaga budaya dan sains borjuis, dan birokrasi perusahaan di masa depan. Agar dapat mempertahankan posisi kelas mereka yang umumnya relatif telah mapan, mahasiswa tak berkepentingan untuk merombak tatanan masyarakat yang ada. Mereka justru cenderung ingin tetap mempertahankannya, sebab dalam kuliah-kuliahnya, mereka diajari untuk menerima tatanan yang ada sebagai tatanan yang ideal, selain juga karena keperluan mereka untuk mengamalkan ilmu-ilmu borjuisnya itu.
Dengan menganggap diri sebagai agent of change, mereka merasa mampu untuk mengatasi persoalan sosial dengan sendirinya. Konsep agent of change ini, yang sering kali digembar-gemborkan oleh media-media borjuis, pada kenyataannya hanyalah tipuan guna memuaskan romantisme anak muda yang seringkali memabukkan. Mereka berteriak soal “hidup rakyat Indonesia!!”, namun bahasa yang mereka gunakan jauh dari kata merakyat: penuh dengan jargon-jargon intelektual-elitis dan jauh dari pandangan teoretis yang revolusioner. Seperti itulah mahasiswa kita saat ini.
Contoh yang paling nyata dari hal ini dapat kita lihat dari apa yang dilakukan beberapa organisasi Cipayung Plus misalnya. Di Kalimantan Barat, beberapa organisasi Cipayung Plus telah merelakan diri menjadi Panitia Pengawas Pemilu (PANWASLU) di kampung mereka masing-masing. Dengan dalih “menjaga demokrasi,” mereka secara terang-terangan telah menjadi kaki tangan dari lembaga negara borjuis. Alih-alih merombak tatanan yang ada, mereka justru malah terjebak dalam kerja-kerja nirfaedah guna menopang penguatan “demokrasi.”
Akan tetapi, yang menjadi masalah ialah demokrasi bagi siapa? Apakah demokrasi bagi borjuis? Yang berarti adalah demokrasi bagi segelintir pemilik alat-alat produksi, di mana segelintir kaum berpunya dapat membeli politisi, hukum, hakim, suara dalam pemilu, dll, demi melanggengkan kekuasaan partai-partai borjuis guna memuluskan jalan mereka untuk menghisap tenaga kerja menjadi profit. Sementara kita, kaum yang tak berpunya harus patuh pada setiap aturan yang sudah mereka beli kalau tak mau masuk bui? Ataukah demokrasi proletar? Yang berarti adalah sebuah kekuasaan bagi mayoritas rakyat, sebuah demokrasi bagi massa rakyat pekerja, ketika mayoritas rakyat tersebut mampu mengontrol kekuasaan politik negara beserta alat-alat produksi demi memenuhi kebutuhan kita bersama? Sayangnya, apa yang mereka bela justru malah demokrasi borjuis ini!
Keinginan untuk mengubah keadaan, dicampur pragmatisme borjuasi kecil mereka menyebabkan pergerakan mahasiswa menjadi impoten dan kompromis. Ini tidak hanya bisa kita lihat dalam upaya terang-terangan mereka dalam membela demokrasi borjuis, namun juga bisa kita lihat dalam aksi-aksi mereka yang nampak ‘kritis’.
Seperti apa yang dilakukan BEM UI pada tempo lalu misalnya, ketika mencap Jokowi sebagai The King of Lip Service. Apa sebabnya mereka menggunakan slogan ini? Apakah penggunaan kalimat ini tidak mencerminkan kecenderungan mahasiswa untuk menjadi elitis intelek & eksklusif? Seberapa jauh pula cap stempel ini mampu memengaruhi & memantik kesadaran massa rakyat secara luas, dan bukan hanya mahasiswa? Apakah slogan itu mampu memberikan pandangan yang tepat atas kondisi yang ada? Selain itu, contoh lain juga bisa kita lihat dari pola umum pergerakan mahasiswa, seperti di Banyumas misalnya. Di Banyumas, para mahasiswa membuat sebuah aliansi, yang meskipun namanya “Aliansi Serikat Masyarakat Bergerak” (SEMARAK), tapi hampir tak ada elemen masyarakat lain kecuali mahasiswa. Mereka tak memiliki niatan untuk merangkul masyarakat luas. Bahkan ketika melancarkan aksi, mereka mewajibkan para partisan SEMARAK untuk mengenakan jaket almamater (identitas kampus)!!! Apakah buruh, tani, dll memiliki jaket almamater? Tak hanya itu, ketika melancarkan aksi, para mahasiswa pun hanya melancarkan aksi guna memaksa pejabat daerah untuk mendukung aspirasi mereka, yang pada tempo itu ialah membatalkan pengesahan Omnibus Law (2020). Apakah itu bukan bukti kalau masih banyak mahasiswa yang mempunyai harapan dengan dengan tatanan yang ada? Dengan negara? Yang jelas-jelas adalah penindas?
Seperti yang Trotsky tunjukkan dalam analisisnya tentang kebangkitan fasisme, borjuasi kecil bukanlah kelas yang mandiri dan karenanya tidak dapat menjalankan politik kelasnya sendiri, tetapi dipaksa untuk memilih antara proletariat dan borjuasi. Borjuasi kecil adalah kelas yang paling heterogen dalam masyarakat kapitalis, yang dalam periode krisis sosial yang hebat akan terpecah, satu bagian beralih ke gerakan kelas pekerja dan bagian lainnya secara sadar berpihak kepada kelas borjuasi. Mahasiswa, sebagai golongan borjuasi kecil yang paling mudah berubah, akan berperan aktif dalam semua gerakan “radikal,” baik kiri maupun kanan. Inilah sebabnya mengapa para mahasiswa mampu mengambil peran yang ambigu, yaitu menjadi kawan dan juga lawan. Mereka bisa menjadi penggerak bagi perjuangan bersama kelas buruh menentang imperialisme kapital, dan juga bisa menjadi kaki tangan kelas borjuis maupun imperialis untuk melanggengkan kekuasaannya.
Karena posisi mereka (pemuda-mahasiswa) yang ambigu itu, sikap kita terhadap mereka juga tidak bisa ditentukan secara tetap. Kita tak bisa menentang dan mendukung mereka secara buta. Tugas-tugas pokok kita kepada massa borjuis kecil itu pada umumnya adalah berusaha untuk memenangkan sebanyak mungkin bagian dari mereka untuk menyatukan kepentingannya dengan kepentingan kaum proletar. Demikian pula dengan mahasiswa, sikap kita terhadap beberapa gerakan protes borjuis kecil mereka yang secara obyektif mewakili kepentingan kaum tertindas (gerakan menentang Perppu Cipta Kerja dan KUHP misalnya), bukanlah permusuhan, melainkan dukungan kritis. Artinya, kita harus mendukung sebagian tuntutan yang mereka suarakan dan mendorong mereka untuk melampaui kesadaran palsu kelas borjuis yang bercokol di dalam otak mereka. Campur tangan kita dalam gerakan protes borjuis kecil adalah untuk memenangkan mereka ke pandangan bahwa perjuangan melawan segala bentuk penindasan kapitalis harus dipimpin oleh gerakan kelas pekerja.
Kita berhak memusuhi gerakan protes mahasiswa sejauh mereka tidak mewakili kepentingan kaum tertindas secara objektif. Pandangan-pandangan radikalisme borjuis kecil, yang menganggap bahwa garda depan perjuangan melawan penindasan kapitalis adalah mahasiswa itu sendiri juga perlu kita lawan tanpa ampun. Anggapan yang mengatakan bahwa mahasiswa adalah agent of change merupakan cermin dari teori radikalisme borjuis kecil ini, bahwa mahasiswa itu sendiri dapat menjadi kelompok sosial revolusioner. Pandangan ini jelas merupakan pandangan yang konyol, tolol, dan menyesatkan, sebab dalam hubungan produksi yang ada mahasiswa tidaklah berperan secara aktif, sehingga mereka sendiri tak akan mampu merombak tatanan masyarakat yang ada.
APA YANG PERLU KAUM MUDA LAKUKAN?
Sejarah gerakan kaum muda telah menunjukan bahwa mereka tak bisa kita abaikan. Darah juangnya yang membara serta militansinya yang besar telah berhasil menjadikan mereka sebagai pemantik bagi gerakan massa. Meskipun demikian, gerakan yang mereka pantik sayangnya tak selalu bergerak maju. Tak sedikit gerakan massa yang mereka pantik berakhir menjadi penghambat, bahkan menjadi kemunduran. Ini tak aneh sebab tak semua pemuda berada di kelas yang sama.Kaum muda, apabila benar-benar ingin menjadi agent of change, haruslah memiliki pemandu teori yang tepat. Meskipun semangat dan militansi itu penting, namun hal tersebut tidaklah cukup. Di samping semangat dan militansi, kaum muda membutuhkan suatu perspektif yang tepat. Bagaimana pun juga, langkah pertama untuk merubah dunia adalah dengan memahaminya. Tanpa memiliki pemahaman yang tepat, usaha kita hanya akan menjadi mimpi di siang bolong. Sosialisme ilmiah adalah teori yang paling konkret dan komplit dalam memberikan pisau analisis guna memandang dunia ini. Kaum muda, agar ia dapat betul-betul dapat menjadi revolusioner dan agent of change, haruslah memahami teori ini secara menyeluruh.
Pemahaman teori ini tentu tak akan muncul hanya melalui buku, melainkan juga melalui praktik konkret pergerakan massa proletariat. Memang, kaum muda harus “belajar, belajar, belajar, dan mengubah diri mereka menjadi Sosial-Demokrat yang sadar - ‘kaum terpelajar kelas buruh’.”[6] Namun, hal ini memerlukan konsistensi dan disiplin yang tinggi. Proses belajar dan mengubah diri ini tak bisa dilakukan hanya sebagai hobi, yang dilakukan ketika ada waktu luang semata. Sebaliknya, kita harus selalu meluangkan waktu untuk hal ini. Proses ini haruslah kita jadikan sebagai profesi sehari-hari yang kita bawa sampai mati. Perolehan ilmu dengan disiplin dan konsistensi ini tak mungkin kita dapatkan hanya dari buku, melainkan juga dari pengalaman konkret di antara massa tertindas.
Untuk memperoleh semua hal ini, kaum muda membutuhkan organisasi yang mumpuni. Kaum muda tak akan menjadi revolusioner hanya dengan gemar membaca buku kiri, memakai topi bintang merah, dan doyan teriak “revolusi!”, mereka juga harus berorganisasi. Organisasi yang kami maksud harus mempersatukan kaum muda dengan kelas pekerja dan massa tertindas lainnya. Tanpa organisasi, kaum muda hanya akan terisolasi dan kemampuan yang mereka miliki tak akan berarti. Penindasan yang kita alami di dalam sistem kapitalis ini bagaimana pun juga ialah suatu penindasan yang terorganisir. Oleh sebab itu, hanya perlawanan yang terorganisir pula lah yang mampu menghancurkan kapitalisme.
Partai Proletariat Revolusioner adalah satu-satunya organisasi yang mampu memainkan peran ini. Partai Bolshevik adalah buktinya. Hanya bersama Partai Proletariat Revolusioner lah, kaum muda dapat mempersatukan dirinya dengan dengan kelas pekerja dan massa tertindas lainnya, untuk menggulingkan kekuasaan politik borjuis dan mendirikan masyarakat adil makmur, yang tak lain adalah masyarakat transisi Sosialis. Hanya melalui jalan inilah kaum muda dapat menjadi agent of change yang sesungguhnya.
4.Ibid
6.Lenin Collected Works, A Retrograde Trend in Russian Social-Democracy, Progress Publishers, 1964, Moscow, Volume 4, pages 255-285.